Hari Santri dan Resolusi Jihad: Jejak Perjuangan Santri dan Ulama Pesantren

Lentera Religi_Penetapan Hari Santri oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 pada 15 Oktober 2015 merupakan bentuk penghargaan atas perjuangan para santri dan ulama pesantren dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Momentum ini erat kaitannya dengan sejarah perlawanan rakyat terhadap Agresi Militer Belanda II yang membonceng tentara Sekutu pasca kekalahan Jepang.

Proklamasi 17 Agustus 1945 bukanlah akhir perjuangan, melainkan awal babak baru mempertahankan kemerdekaan. Ulama pesantren telah jauh hari mempersiapkan kemungkinan perang bersenjata setelah Jepang menyerah. Saat Jepang mulai terdesak Sekutu, mereka melatih pemuda Indonesia secara militer di antaranya para santri.

Karena ada hubungan diplomatik dengan KH Muhammad Hasyim Asy’ari selaku Ketua Shumubu (Jawatan Agama), Jepang menyampaikan rencana tersebut. Setelah pertimbangan matang, KH Hasyim Asy’ari menyetujuinya dengan syarat pemuda yang dilatih berdiri sendiri, tidak masuk barisan Jepang. Dari sinilah lahir Laskar Hizbullah pada November 1943, beberapa minggu setelah pembentukan PETA.

Meski terpisah, secara teknis militer Hizbullah dan PETA tetap berada di bawah pengawasan intelijen Jepang, Kapten Yanagawa. Sebagian pihak menilai keputusan KH Hasyim sebagai bentuk ketundukan, namun sebenarnya beliau sedang mempersiapkan para santri menghadapi penjajah pasca Jepang. Prediksi itu terbukti: Jepang menyerah, Belanda kembali dengan membonceng Sekutu, dan Indonesia harus berperang.

KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) mencatat, angkatan pertama latihan Hizbullah di Cibarusa, Bogor (awal 1944), diikuti 150 pemuda dari seluruh Jawa dan Madura. Latihan dipimpin Zainul Arifin. Namun, pelaksanaan latihan sangat terbatas, membuat KH. Wahid Hasyim gusar karena waktu semakin sempit. Meski begitu, beliau tetap mendorong persiapan militer dan politik demi kemerdekaan.

Pertempuran mencapai puncak di Surabaya, 10 November 1945, yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Peristiwa itu tidak lepas dari Resolusi Jihad NU yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Resolusi ini mewajibkan umat Islam membela kemerdekaan Republik Indonesia dari ancaman Belanda dan Sekutu.

Menjelang pertempuran Surabaya, para ulama NU dari berbagai daerah berkumpul pada 21–22 Oktober 1945. Mereka menyatakan bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah jihad fi sabilillah. Resolusi Jihad ini menggerakkan santri, laskar Hizbullah-Sabilillah, dan rakyat untuk terjun langsung di medan perang tidak hanya di Surabaya, tetapi juga di Semarang, Ambarawa, dan daerah lain.

KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001) menuturkan bahwa hampir bersamaan dengan perlawanan di Surabaya, rakyat Semarang pun melawan Sekutu. Pertempuran juga terjadi di Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa. Dari Kedu, Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan berangkat dengan semangat jihad, sempat singgah di kediaman KH Subchi untuk mendapat doa dan restu.

Resolusi Jihad menegaskan: “Mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam termasuk kewajiban bagi setiap muslim.” Semangat ini terus digelorakan dalam berbagai forum, termasuk Muktamar ke-16 NU di Purwokerto (Maret 1946). KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa tegaknya syariat Islam mensyaratkan kemerdekaan dari penjajahan.

Perjuangan para ulama dan santri membuktikan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman (hubbul wathon minal iman). Semangat jihad inilah yang kemudian melahirkan momentum bersejarah: Hari Santri 22 Oktober, sebagai pengingat bahwa kemerdekaan bangsa tidak terlepas dari pengorbanan pesantren, ulama, dan santri.

SELAMAT MENYAMBUT HARI SANTRI NASIONAL 2025

pendaftaran Sertifikasi Halal

Comment

pendaftaran Sertifikasi Halal