Hari Pahlawan Nasional 2025 kembali mengingatkan kita pada momen heroik Pertempuran Surabaya 1945, sebuah narasi tentang keberanian dan pengorbanan demi kemerdekaan. Namun, peringatan ini tidak hanya menoleh ke belakang, melainkan mengajak generasi muda untuk merefleksikan dan menginternalisasi nilai-nilai kepahlawanan yang relevan di era modern. Salah satu figur sentral dalam tradisi keagamaan Islam, Nabi Yusuf AS, menawarkan teladan universal yang kaya akan pelajaran tentang kepemimpinan berintegritas, keadilan yang menegakkan kebenaran, dan kebijaksanaan dalam memaafkan.
Kepemimpinan yang Menginspirasi dan Berintegritas
Kisah Nabi Yusuf AS yang termaktub dalam Al-Qur’an adalah epik tentang ketahanan dan kepemimpinan. Perjalanan beliau bermula sebagai seorang pemuda yang penuh harapan, namun takdir membawanya melalui ujian berat: dikhianati saudara-saudaranya, dijual sebagai budak, dan dipenjara tanpa sebab yang jelas. Di balik jeruji, Yusuf tidak menyerah pada keputusasaan. Sebaliknya, ia memanfaatkan waktunya untuk belajar, mengasah kecerdasan, dan menafsirkan mimpi. Kemampuannya ini kemudian menjadi jalan baginya untuk keluar dari penjara dan diangkat menjadi pengelola utama perbendaharaan Mesir oleh Raja.
Kepemimpinan Nabi Yusuf terbukti luar biasa ketika ia berhasil mengorganisir sistem cadangan pangan yang efektif selama tujuh tahun paceklik, menyelamatkan jutaan jiwa dari kelaparan di Mesir dan wilayah sekitarnya. Ini menunjukkan bahwa pemimpin sejati tidak terbentuk oleh kedudukan atau kekuasaan yang instan, melainkan melalui serangkaian ujian, pengalaman pahit, dan integritas yang tak tergoyahkan.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَكَذَٰلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِى ٱلْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَآءُ ۚ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَن نَّشَآءُ ۖ وَلَا نُضِيعُ أَجْرَ ٱلْمُحْسِنِينَ
“Dan demikianlah caranya, Kami tetapkan kedudukan Yusuf memegang kuasa di bumi Mesir; ia bebas tinggal di negeri itu di mana sahaja yang disukainya. Kami limpahkan rahmat Kami kepada sesiapa sahaja yang Kami kehendaki, dan Kami tidak menghilangkan balasan baik orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Yusuf [12]: 56).
Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan dan kekuasaan yang diberikan kepada Yusuf adalah bentuk rahmat Allah atas kesabaran dan kebaikan (ihsan) yang ia tunjukkan. Ini menjadi inspirasi bagi pemimpin masa kini untuk membangun kepemimpinan yang kokoh, bukan sekadar berbasis kekuasaan, melainkan pada kompetensi, integritas, dan dedikasi kepada umat. (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Surah Yusuf).
Keadilan yang Menegakkan Kebenaran
Salah satu puncak moralitas dalam kisah Nabi Yusuf adalah ketika saudara-saudaranya datang ke Mesir untuk meminta bantuan pangan, tanpa menyadari bahwa Yusuf adalah penguasa yang mereka temui. Dalam situasi ini, Yusuf memiliki kesempatan penuh untuk membalas dendam atas pengkhianatan di masa lalu. Namun, ia memilih jalur yang berbeda: jalur keadilan yang berlandaskan kebenaran dan upaya pemulihan.
Yusuf tidak langsung menghukum mereka, melainkan ia menerapkan proses hukum yang cerdas untuk mengungkap kebenatan dan memberikan kesempatan kepada saudara-saudaranya untuk introspeksi dan bertaubat. Keadilan Yusuf bukan sekadar balasan setimpal, melainkan sebuah proses yang menghormati martabat manusia, mendorong pengakuan dosa, dan pada akhirnya, mengarah pada rekonsiliasi.
Prinsip keadilan ini sangat relevan dengan ajaran Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an:
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًا ۢ بَصِيْرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyerahkan amanat kepada yang berhak dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kalian menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa [4]: 58).
Ayat ini menekankan pentingnya menegakkan keadilan dalam setiap aspek kehidupan, dari urusan pribadi hingga pemerintahan. Keadilan, dalam konteks Yusuf, adalah kekuatan untuk memperbaiki, bukan hanya menghukum. (Lihat: Tafsir Al-Mishbah, Vol. 6 oleh M. Quraish Shihab tentang keadilan).
Pemaafan sebagai Kekuatan dan Pemersatu
Klimaks emosional kisah Nabi Yusuf terjadi ketika ia mengungkapkan identitasnya kepada saudara-saudaranya. Momen ini diwarnai air mata, bukan amarah. Dengan kebijaksanaan yang luar biasa, Yusuf berkata, “Tidak ada tuduhan bagi kalian hari ini; Allah telah menjadikan semua ini kebaikan.” (QS. Yusuf [12]: 92).
Pernyataan ini bukan sekadar pengampunan biasa, melainkan manifestasi kekuatan spiritual yang mengubah tragedi masa lalu menjadi pelajaran tentang kasih sayang, persatuan, dan rahmat ilahi. Pemaafan Yusuf mempersatukan kembali keluarganya dan menunjukkan bahwa pengampunan adalah fondasi untuk membangun masa depan yang lebih baik, bebas dari dendam dan permusuhan. Dalam konteks Hari Pahlawan, pemaafan adalah katalisator untuk rekonsiliasi nasional dan pembangunan bangsa yang harmonis.
Menerapkan Nilai-nilai Nabi Yusuf di Hari Pahlawan 2025
Dalam semangat Hari Pahlawan 2025 dengan tema “Pahlawanku Teladanku: Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan”, kita diajak untuk:
Berani Mengambil Tanggung Jawab: Seperti Nabi Yusuf yang mengambil amanah di posisi sulit, generasi muda harus berani mengambil inisiatif dan tanggung jawab di tengah tantangan, baik dalam karier, pendidikan, maupun komunitas.
Menegakkan Keadilan: Mengimplementasikan prinsip keadilan dalam setiap keputusan, baik di lingkungan sekolah, tempat kerja, keluarga, maupun masyarakat, untuk menciptakan lingkungan yang fair dan jujur.
Memaafkan sebagai Kekuatan: Mempraktikkan pemaafan untuk membangun kembali hubungan yang retak, mendorong kolaborasi, dan membebaskan diri dari belenggu dendam, yang pada akhirnya membuka jalan bagi kemajuan bersama.
Sebagai generasi muda, kita dipanggil untuk menjadi “pahlawan kontemporer” yang meneladani nilai-nilai universal ini. Seperti yang diungkapkan dalam berbagai refleksi Hari Pahlawan, “Pahlawan zaman sekarang adalah mereka yang memberi manfaat positif bagi masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, keamanan, maupun keadilan sosial” (BPIP, 2024). Dengan meneladani Nabi Yusuf AS, kita tidak hanya menghormati jasa para pahlawan bangsa di masa lalu, tetapi juga melanjutkan perjuangan mereka dalam bentuk kontribusi nyata untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan berintegritas.
Referensi:
Al-Qur’an, Surah Yusuf (12): 22–56.
Al-Qur’an, Surah An-Nisa (4): 58.
Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Surah Yusuf. Darussalam, 2000.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 6. Lentera Hati, 2002.
Qutb, Sayyid. Fi Zhilalil Qur’an (Dalam Naungan Al-Qur’an), Surah Yusuf.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Kemenag RI, 2019.
Kementerian Sosial Republik Indonesia. Pedoman Peringatan Hari Pahlawan Nasional Tahun 2025. Jakarta: Kemensos RI, 2025. (Dapat diunduh dari situs resmi: https://kemensos.go.id)
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Makna dan Nilai Kepahlawanan Bagi Generasi Muda. Pusat Sejarah, 2023.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Pahlawan Masa Kini: Inspirasi untuk Aksi Nyata. Jakarta, 2024.
Pidato Presiden Republik Indonesia pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2024. (Untuk konteks aktual kepahlawanan modern).
Nasir, M. “Kepemimpinan Nabi Yusuf dalam Perspektif Al-Qur’an.” Jurnal Studi Islam dan Masyarakat, Vol. 8 No. 2 (2022): 115–130.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993. (Menjelaskan konsep adab, amanah, dan kepemimpinan spiritual).
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Lentera Hati, 2000. (Bagian mengenai nilai-nilai kepemimpinan dan keadilan).
Azra, Azyumardi. Nilai-nilai Kepahlawanan dalam Perspektif Islam dan Kebangsaan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020.





Comment