Nabi Musa AS adalah salah satu dari Ulul Azmi, yaitu nabi-nabi yang memiliki keteguhan dan ketabahan luar biasa. Kisah beliau dalam Al-Qur’an menghadirkan model kepemimpinan yang memadukan ketaatan spiritual, keberanian moral, kecakapan manajerial, dan kebijaksanaan strategis. Oleh karena itu, kepemimpinan Nabi Musa AS dapat dijadikan teladan abadi bagi para pemimpin sepanjang masa.
Visi yang Jelas dan Berorientasi pada Tujuan (Goal-Oriented Vision)
Kepemimpinan Nabi Musa AS berlandaskan visi yang sangat jelas dan bersumber langsung dari mandat Ilahi: membebaskan Bani Israil dari penindasan Firaun dan menuntun mereka menuju tanah yang dijanjikan. Visi ini bukan hanya rencana strategis, tetapi bentuk kepatuhan terhadap perintah Allah SWT. Firman Allah SWT:
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
“Pergilah engkau kepada Fir‘aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.” (Q.S. Ṭāhā: 24)
Visi ini menuntut perubahan radikal terhadap status quo: melawan penguasa paling tiran di zamannya. Keberhasilan Nabi Musa AS membawa Bani Israil menyeberangi Laut Merah (Q.S. Asy-Syu‘arā’ 26: 60–63) merupakan bukti konkret realisasi visi ini sekaligus memperkuat moral kaumnya di tengah tekanan besar.
Keberanian dan Ketegasan dalam Menghadapi Tirani (Courage and Firmness)
Inti dari kepemimpinan Nabi Musa AS adalah keberaniannya yang bersumber dari keimanan mendalam. Saat menerima tugas berat menghadapi Firaun, beliau memohon kekuatan dan kemudahan kepada Allah. Doa Nabi Musa AS:
رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
“Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku agar mereka mengerti perkataanku.” (Q.S. Ṭāhā: 25–28)
Keberanian beliau tidak hanya tampak dalam menghadapi Firaun, tetapi juga dalam menegakkan kebenaran di internal umatnya. Ketegasan Nabi Musa AS saat menghancurkan patung anak lembu emas menunjukkan bahwa pemimpin sejati juga harus berani melakukan koreksi internal ketika umat tergelincir.
Empati dan Kasih Sayang terhadap Pengikut (Empathy and Compassion)
Meskipun tegas, Nabi Musa AS tetap memiliki sifat empati dan kasih sayang yang mendalam terhadap kaumnya. Beliau berkali-kali memohonkan ampunan untuk kesalahan Bani Israil.
Terkait penyesalan Bani Israil setelah menyembah anak sapi, Al-Qur’an menggambarkannya:
… لَئِن لَّمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“…Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi rahmat dan mengampuni kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S. Al-A‘rāf: 149)
Empati Musa AS membangun kepercayaan dan loyalitas umatnya. Pemimpin sejati tidak hanya mengarahkan dan mengoreksi, tetapi juga bersedia memohonkan rahmat untuk kelemahan pengikutnya.
Kecerdasan Spiritual dan Kebijaksanaan Strategis (Spiritual and Intellectual Wisdom)
Keputusan Nabi Musa AS selalu berpijak pada petunjuk Ilahi (spiritual) dan diterjemahkan menjadi langkah-langkah praktis (intelektual). Hal ini juga tergambar dalam perjalanannya mencari ilmu bersama Nabi Khidir.Firman Allah SWT:
لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ…
“Aku tidak akan berhenti hingga sampai di pertemuan dua lautan; atau aku akan berjalan terus bertahun-tahun.” (Q.S. Al-Kahf: 60)
Perjalanan ini menunjukkan bahwa pemimpin yang baik adalah pembelajar sepanjang hayat, selalu mencari hikmah dan memahami konteks sebelum membuat keputusan besar.
Komunikasi Efektif dan Kesediaan Berkolaborasi (Effective Communication and Collaboration)
Nabi Musa AS sadar akan keterbatasan komunikasinya. Alih-alih menyembunyikannya, beliau meminta bantuan Allah SWT dengan menghadirkan Harun AS sebagai juru bicara. Permohonan Musa AS:
وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَانًا…
“Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripadaku; maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku…” (Q.S. Al-Qaṣaṣ: 34)
Ini menegaskan bahwa pemimpin visioner harus mampu mengenali kekurangannya, meminta bantuan, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.
Delegasi dan Pengembangan Penerus (Delegation and Successor Development)
Nabi Musa AS tidak memimpin secara sentralistik. Beliau memilih 70 tokoh dari kaumnya untuk membantu mengelola urusan kolektif. Selain itu, beliau mempersiapkan Yusya‘ bin Nun sebagai penerus setelahnya. Firman Allah SWT:
وَاخْتَارَ مُوسَى قَوْمَهُ سَبْعِينَ رَجُلًا لِّمِيقَاتِنَا…
“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (menghadiri) waktu yang telah Kami tentukan…” (Q.S. Al-A‘rāf: 155)
Delegasi menunjukkan kepercayaan pada potensi umat, sementara suksesi menjamin keberlanjutan misi jangka panjang.
Dari uraian di atas dapat disempulkan bahawa Kepemimpinan Nabi Musa AS dalam Al-Qur’an merupakan model kepemimpinan holistik: menggabungkan kekuatan spiritual (iman, visi Ilahi, tawakal) dengan kompetensi manajerial (delegasi, komunikasi, strategi). Karakter seperti keberanian menghadapi tirani, empati pada pengikut, visi jangka panjang, dan kesediaan belajar menjadikan Nabi Musa AS prototipe pemimpin ideal bagi segala zaman.
Referensi
Tafsir Al-Mishbah
Kumpulan Hadis Shahih
Muhammad Al-Bashir, Leadership in Islam
Deepublish (2022). Karakter Kepemimpinan Nabi Musa A.S. dalam Perspektif Al-Qur’an
M. Ilyas Ismail & A. Tang (2021). “Karakteristik Kepemimpinan Nabi Musa dalam Al-Qur’an,” Idaarah: Jurnal Manajemen Pendidikan
Sumber-sumber kajian daring terkait kepemimpinan Nabi Musa AS





Comment