Raja Namrud bin Kan‘an yang secara luas diidentifikasi oleh para mufasir klasik sebagai raja yang berdebat dengan Nabi Ibrahim a.s. berdasarkan Q.S. Al-Baqarah: 258. Ayat ini tidak hanya mencatat sebuah dialog teologis, tetapi juga menyajikan kritik mendalam terhadap model kepemimpinan yang ditopang oleh kekuasaan absolut (absolute power) dan arogansi tiranik (ṭughyān). Namrud dipandang dalam tradisi Islam sebagai arketipe penguasa yang mendeklarasikan dirinya sebagai dewa (Ibn Katsir, Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, jil. 1),
Q.S. Al-Baqarah: 258 sebagai Dasar Analisis Kepemimpinan
Ayat kunci yang menjadi basis telaah ini adalah:
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْ حَاۤجَّ اِبْرٰهٖمَ فِيْ رَبِّهٖٓ اَنْ اٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَۘ اِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۙ قَالَ اَنَا۠ اُحْيٖ وَاُمِيْتُۗ قَالَ اِبْرٰهٖمُ فَاِنَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَۚ
“Tidakkah engkau memperhatikan orang yang membantah Ibrahim tentang Tuhannya, karena Allah telah memberikan kepadanya kerajaan (an ātāhu Allāhu al-mulka)? Ketika Ibrahim berkata, ‘Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,’ ia menjawab, ‘Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.’ Maka terdiamlah orang kafir itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah: 258)
Ayat ini secara eksplisit mengaitkan kekuasaan (al-mulku) yang diberikan kepada Namrud sebagai katalisator munculnya sifat membantah dan sombong (ḥājja), yang menjadi ciri utama kepemimpinannya.
Karakteristik Kepemimpinan Tiranik Namrud
Analisis tekstual Q.S. Al-Baqarah: 258 mengungkap empat pilar utama dari karakter kepemimpinan Namrud:
1. Kekuasaan sebagai Pemicu Kesombongan (Ṭughyān)
Frasa اَنْ اٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ (karena Allah telah memberikan kepadanya kerajaan) dalam ayat ini berfungsi sebagai ‘illah (sebab) dari arogansi Namrud. Menurut Al-Qurṭubī dalam Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, kekuasaan yang tidak dibarengi dengan kesadaran moral (tazkiyatun-nafs) cenderung mengarahkan seorang pemimpin pada ṭughyān (melampaui batas). Ia menganggap otoritas kekuasaanya sebagai otoritas mutlak yang bahkan menyaingi Tuhan.
2. Manipulasi Konsep Ketuhanan untuk Legitimasi kekuasaan
Ketika Nabi Ibrahim a.s. menyatakan bahwa Tuhannya “menghidupkan dan mematikan,” Namrud merespons dengan klaim اَنَا۠ اُحْيٖ وَاُمِيْتُ (Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan). Aṭ-Ṭabarī menjelaskan dalam Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān bahwa klaim ini adalah manipulasi kekuasaan duniawi. Namrud membuktikan klaimnya dengan membebaskan seseorang dari hukuman mati (menghidupkan) dan mengeksekusi yang lain (mematikan). Ini menunjukkan penyelewengan konsep ketuhanan untuk membenarkan kekuasaan politiknya sebagai divine kingship (raja-dewa), sebuah strategi yang umum di peradaban Mesopotamia kuno (Roux, Ancient Iraq).
3. Batasan Intelektual Tiran di Hadapan Kebenaran Universal
Puncak perdebatan terjadi ketika Nabi Ibrahim a.s. mengajukan tantangan yang bersifat kosmologis dan empiris mengenai sistem alam semesta: menerbitkan matahari dari barat. Respons Namrud adalah فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ (Maka terdiamlah orang kafir itu). Menurut Ibn Katsir, terdiamnya Namrud melambangkan kekalahan intelektual dan kegagalan logis seorang tiran. Kekuatan fisiknya tidak mampu menjawab tantangan metafisik, yang membuktikan bahwa otoritas absolutnya hanya berlaku dalam batas kekuasaan duniawi, dan tidak berdaya di hadapan bukti kebenaran universal.
4. Penegasan Penilaian Moral: Kepemimpinan Zalim Tertolak
Penutup ayat, وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ (Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim), menyematkan penilaian moral teologis terhadap Namrud. Ini adalah penegasan bahwa kepemimpinan yang didasarkan pada kezaliman (ẓulm), penindasan, dan penyelewengan kebenaran, akan kehilangan bimbingan Ilahi (hidāyah). Kehilangan petunjuk ini secara profetik menandai kehancuran moral dan politik seorang penguasa tiran.
Namrud sebagai Model Arketipe Kepemimpinan Despotik
Namrud, dalam tradisi tafsir dan sejarah Islam, merupakan model ideal dari despotisme (tirani): Otoritarianisme dan Kultus Dewa-Raja: Kisah-kisah mencatat bahwa Namrud menuntut penyembahan dari rakyatnya. Hal ini selaras dengan praktik divine kingship yang merupakan strategi legitimasi kekuasaan dengan mengklaim diri sebagai perwujudan atau utusan dewa, yang meniadakan pertanggungjawaban politik kepada rakyat.
Pengendalian Kekuasaan Melalui Kekerasan: Riwayat-riwayat mengasosiasikan Namrud dengan penindasan sistematis dan penggunaan kekerasan negara untuk mempertahankan legitimasi. Ia tidak segan membunuh siapa pun yang menentang otoritasnya, menunjukkan ciri khas rezim yang menggunakan teror sebagai alat kontrol politik.
Megalomania dan Ambisi Transenden: Meskipun tidak eksplisit dalam Al-Qur’an, tradisi kuno dan beberapa sumber Islam mengaitkan Namrud dengan pembangunan Menara Babel. Simbolisme menara ini mewakili megalomania ambisi luar biasa untuk menantang batas-batas kekuasaan Tuhan atau kosmos yang merupakan manifestasi psikologis dari kesombongan seorang penguasa absolut.
Implikasi dan Hikmah dari Kisah Namrud
Telaah atas Namrud memberikan pelajaran Eetik Kekuasaan yang relevan sepanjang masa:
Peringatan Etika Kekuasaan: Kekuasaan (al-mulku) adalah ujian; tanpa nilai moral dan kesadaran spiritual, kekuasaan akan menjadi sumber fasād (kerusakan) dan ṭughyān.
Superioritas Argumentasi Moral: Nabi Ibrahim a.s. mengalahkan otoritas politik absolut Namrud bukan dengan kekuatan fisik, melainkan dengan logika dan ketajaman berpikir. Hal ini mengajarkan bahwa kritik yang didukung oleh kebenaran universal (al-ḥaqq) lebih unggul daripada klaim otoritas yang didukung oleh kekuatan represif.
Kegagalan Legitimasi Berbasis Klaim Ketuhanan: Kehancuran kekuasaan Namrud baik secara fisik dalam riwayat, maupun secara moral/intelektual dalam ayat adalah hasil dari kehancuran internal yang ditimbulkan oleh kezalimannya sendiri. Legitimasi politik yang dibangun di atas manipulasi teologis dan kebohongan tidak akan bertahan.
Kezaliman Menutup Pintu Kebijaksanaan: Ayat menegaskan bahwa kezaliman adalah penghalang terbesar bagi petunjuk. Pemimpin yang zalim kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan yang bijaksana dan adil, menjadikannya rentan terhadap kegagalan.
Q.S. Al-Baqarah: 258 berfungsi sebagai kritik tajam terhadap otoritarianisme. Kisah Namrud adalah cerminan abadi bahwa pemimpin ideal adalah mereka yang sadar akan batas dirinya, tunduk pada kebenaran, dan mendirikan kekuasaan atas dasar keadilan dan kerendahan hati.
Referensi
Sumber Primer (Kitab Tafsir dan Sejarah Klasik)
Al-Qur’an al-Karim. Q.S. Al-Baqarah: 258.
Aṭ-Ṭabarī, Abū Ja‘far Muḥammad bin Jarīr. (w. 310 H). Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān. Beirut: Mu’assasah al-Risālah, (Beberapa jilid, relevansi pada tafsir Q.S. 2:258).
Ibn Kathīr, Ismā‘īl bin ‘Umar. (w. 774 H). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Riyadh: Dār Ṭayyibah li al-Nashr wa al-Tawzī‘, (Relevansi pada tafsir Q.S. 2:258).
Ibn Kathīr, Ismā‘īl bin ‘Umar. (w. 774 H). Al-Bidāyah wa an-Nihāyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Jilid 1, (Relevansi pada biografi Namrud).
Al-Qurṭubī, Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin Aḥmad. (w. 671 H). Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān. Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, (Relevansi pada tafsir Q.S. 2:258).





Comment