Refleksi Hadits dan Hikmah Ulama tentang Arti Umur yang Bernilai

Sudah menjadi fitrah manusia bahwa kebanyakan dari kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala agar diberikan umur yang panjang. Hampir tidak ada yang menginginkan umurnya pendek. Tentu saja, permohonan ini bukan tanpa alasan. Sebagian besar orang menginginkan umur panjang agar memiliki kesempatan lebih luas untuk beramal salih dan mempersiapkan bekal menuju kehidupan abadi di akhirat.

Keinginan ini memiliki dasar yang kuat dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ خَيْرُ النَّاسِ قَالَ: مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

“Wahai Rasulullah, siapakah sebaik-baik manusia?” Beliau menjawab, “Orang yang panjang umurnya dan baik amalannya.” (HR. Tirmidzi)

Hadits ini telah menginspirasi banyak orang untuk senantiasa memohon kepada Allah agar dipanjangkan umurnya. Mereka meyakini bahwa sebaik-baik manusia adalah yang diberi umur panjang dan memanfaatkannya untuk berbuat kebaikan.

Namun, jamaah yang dimuliakan Allah, panjang umur saja tidaklah cukup. Jika umur yang panjang tidak diisi dengan amal salih, maka ia bukanlah sebuah kemuliaan, melainkan sebuah kerugian. Orang-orang seperti ini tidak termasuk dalam golongan terbaik, bahkan mereka termasuk orang-orang yang merugi.

Lalu timbul sebuah pertanyaan: bagaimana dengan mereka yang umurnya pendek? Apakah otomatis mereka tidak termasuk golongan terbaik?

Pertanyaan ini dijawab dengan sangat indah oleh seorang ulama besar, Al-Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitabnya Sabîlul Iddikâr wal I’tibâr. Beliau menuliskan:

وَخَيْرُ الْعُمُرِ: بَرَكَتُهُ، وَالتَّوْفِيقُ فِيهِ لِلْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ، وَالْخَيْرَاتِ الْخَاصَّةِ وَالْعَامَّةِ

“Sebaik-baik umur adalah umur yang diberkahi, yang diberi taufik untuk mengerjakan amal-amal salih serta berbagai kebajikan, baik yang bersifat pribadi maupun yang bersifat umum.”

Dari penjelasan ini kita memahami bahwa nilai suatu umur tidak ditentukan oleh panjang atau pendeknya, melainkan oleh keberkahannya. Umur yang diberkahi adalah umur yang diisi dengan kesalihan dan amal-amal yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Oleh karena itu, tidak mustahil seseorang yang hidupnya hanya sebentar namun setiap detiknya penuh dengan kebaikan, dapat menyamai atau bahkan melebihi orang yang umurnya panjang namun minim amal.

Sejarah mencatat banyak sosok saleh yang tidak dikaruniai umur panjang, tetapi jejak amal kebaikan mereka tetap hidup hingga kini. Di antaranya adalah Imam Syafi‘i, yang wafat pada usia 54 tahun, dan Imam Al-Ghazali, yang wafat di usia 55 tahun. Meski usia mereka tergolong pendek, karya-karya mereka sangat monumental dan manfaatnya terasa luas di tengah umat. Mereka menjadi pelita yang menerangi perjalanan umat Islam hingga hari ini.

Mereka adalah bukti nyata bahwa umur pendek bukanlah penghalang untuk menjadi insan terbaik, selama waktu yang ada dimanfaatkan sebaik mungkin dalam ketaatan dan kebaikan.

Dalam tradisi umat Islam, usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencapai 63 tahun kerap dijadikan patokan. Siapa yang umurnya melebihi itu dianggap telah memperoleh “bonus umur” dari Allah. Sementara mereka yang wafat di usia 50-an, atau bahkan di bawah 40 tahun seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz, digolongkan sebagai orang yang berumur pendek.

Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Abdullah al-Haddad, kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh lamanya umur, melainkan oleh amal yang menghiasinya.Oleh karena itu, marilah kita berdoa, bukan sekadar untuk meminta umur yang panjang, tetapi juga agar umur kita baik panjang maupun pendek diberkahi oleh Allah SWT.

pendaftaran Sertifikasi Halal

Comment