(Antara Santri dan Sarjana)
Di tengah arus zaman yang terus berubah, dua jalur pendidikan tumbuh berdampingan: pesantren dan perguruan tinggi. Keduanya melahirkan insan-insan terdidik, namun dengan corak, pendekatan, dan karakter yang berbeda. Perbedaan ini bukan sekadar dalam metode belajar, tapi juga dalam cara memandang dunia dan menyikapinya.
Santri: Lulusan Pesantren yang Berangkat dari Benda
Santri dibentuk dalam dunia kesederhanaan, kesunyian, dan kontemplasi. Di pesantren, mereka belajar berkata atas benda – artinya, mereka diajak merenungi realitas, makna di balik benda-benda, kehidupan, dan ciptaan Tuhan. Kitab kuning menjadi sarana, namun tidak berhenti di teks; ia mengantarkan santri pada pemahaman tentang hakikat.
Santri berbicara bukan sekadar dari hafalan, tapi dari pengalaman batin dan kedalaman perenungan. Mereka melihat kata sebagai jembatan menuju makna, bukan tujuan akhir. Maka tak heran, ucapan seorang kiai yang sederhana bisa terasa menghujam hati, karena berangkat dari pemahaman hidup yang konkret dan mendalam.
Berkata atas benda adalah cara santri menangkap makna lewat pengalaman hidup dan kesadaran spiritual, bukan hanya melalui teori.
Sarjana: Lulusan Perguruan Tinggi yang Berangkat dari Kata
Sebaliknya, perguruan tinggi membentuk sarjana dalam dunia konsep, teori, dan argumentasi logis. Mereka diajarkan berkata atas kata – yakni, membangun pengetahuan melalui simbol, istilah, dan struktur rasional. Kata menjadi alat utama untuk menjelaskan dunia, namun seringkali berjarak dari pengalaman konkret.
Sarjana sangat cakap menyusun ide, menyampaikan gagasan dalam kerangka akademis, dan menganalisis realitas dengan pendekatan metodologis. Namun terkadang, mereka terjebak dalam “menjelaskan”, tanpa sempat benar-benar mengalami.
Berkata atas kata adalah cara sarjana menafsirkan dunia melalui bahasa dan teori, yang terkadang kehilangan kedekatan dengan makna terdalam.
Jembatan yang Diperlukan: Antara Makna dan Simbol
Idealnya, santri dan sarjana bukan dua kutub yang bertentangan, tetapi dua jalur yang saling melengkapi. Santri membutuhkan nalar sistematis dari dunia kampus, sementara sarjana perlu menyentuh kembali kedalaman makna dan kesadaran spiritual yang dijaga pesantren.
Santri mengakar dalam hikmah, sarjana mengakar dalam ilmu. Bila keduanya bertemu, akan lahir pribadi yang tak hanya tahu, tapi juga bijaksana.

Comment