Dari rumah yang penuh kehangatan dan dinamika keluarga, Yusuf kecil tiba-tiba terlempar ke dalam kesunyian mencekam: dasar sumur tua yang gelap, dingin, dan asing. Bayangkan anak berusia sekitar 12 tahun, yang sebelumnya mengenakan jubah indah pemberian ayahnya, kini menggigil sendirian. Hanya gemericik air dan dengusan hewan liar menjadi teman. Al-Qur’an menggambarkan momen ini dengan kuat:
“Mereka melemparkan Yusuf ke dalam sumur yang dalam, dan Kami wahyukan kepadanya: ‘Sungguh engkau akan menceritakan perbuatan ini kepada mereka saat mereka tidak menyadari” (QS Yusuf: 15).
Di titik terendah inilah, justru turun wahyu penghiburan. Isyarat pertama bahwa ini bukan akhir melainkan awal dari rencana besar Allah.
Dalam psikologi modern, ini disebut resilience kemampuan untuk bangkit dari penderitaan. Yusuf adalah cerminan sempurna. Menurut Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab, sumur itu menjadi “sekolah pertama” Yusuf: tempat ia belajar tentang pengkhianatan, tapi juga pertolongan Allah yang datang secara tak terduga—melalui kafilah dagang yang menyelamatkannya.
Ada ironi indah: saudara-saudaranya ingin menyingkirkannya lewat sumur, tapi justru sumur itulah yang menyelamatkannya dari niat pembunuhan mereka.
Fase ini sarat hikmah. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman! Semua urusannya baik. Jika mendapat kesenangan, ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika tertimpa kesusahan, ia bersabar dan itu juga baik baginya.” (HR Muslim)
Yusuf tidak mengutuk kegelapan. Ia tidak larut dalam derita, tapi berserah dalam keyakinan bahwa Allah punya rencana. Di era media sosial, di mana banyak orang tumbang karena penolakan atau hinaan, Yusuf mengajarkan: terkadang, “dibuang” justru menjadi jalan menuju kemuliaan.
Kafilah dagang menjual Yusuf di pasar budak Mesir dengan harga murah—beberapa dirham saja (QS 12:20). Ini paradoks lain: anak yang begitu berharga di mata ayahnya, dinilai murah oleh dunia. Tapi justru dari titik rendah inilah Yusuf mulai naik. Tanpa sumur, ia takkan sampai ke Mesir. Tanpa dijual, ia takkan bertemu Al-Aziz. Inilah ironi ilahiah: musibah yang tampak buruk, bisa jadi gerbang takdir mulia.
Bertahun-tahun kemudian, saat Yusuf telah menjadi perdana menteri dan bertemu kembali dengan saudara-saudaranya, ia berkata:
“Inilah ta’bir mimpiku dahulu” (QS Yusuf: 100).
Ia tak melupakan sumur itu. Justru menjadikannya bukti kasih sayang dan kesetiaan Allah.
Bagi siapa pun yang kini merasa berada di “sumur”: dikhianati, ditinggalkan, atau diabaikan kisah Yusuf mengingatkan kita, kegelapan hanyalah lorong menuju cahaya. Sumur bukan kuburan, melainkan awal perjalanan menuju kebijaksanaan.

Comment