Islam dikenal sebagai agama penyempurna peradaban manusia. Sebelum Islam, agama-agama dan nabi-nabi sebelumnya sudah berperan dalam membangun prinsip-prinsip peradaban yang berakar pada tradisi dan teologi. Namun, dalam menjalankan misinya, Islam menghadapi berbagai tantangan. Contohnya, Nabi Musa dengan Firaun dan Nabi Ibrahim dengan Raja Namrud. Tradisi yang ada sering kali bertentangan dengan syariat Allah. Meskipun demikian, Islam bertujuan untuk menyempurnakan peradaban melalui wahyu Ilahi.
1. Argumentasi Islam sebagai Penyempurna:
a. Legitimasi dari Al-Quran:
Allah menyatakan dalam Al-Quran bahwa Islam adalah agama yang telah disempurnakan dan diridhai oleh-Nya. Ini tercermin dalam QS. Al-Maidah 3: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
Dalam QS. Al-An’am 115, Allah menegaskan bahwa kalimat-Nya (Al-Quran) sempurna dan adil, serta tidak bisa diubah.
b. Nabi Muhammad sebagai Khatamul Anbiya:
Nabi Muhammad diutus sebagai nabi terakhir, menandakan akhir dari kenabian. Dengan demikian, Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah agama terakhir yang ditujukan untuk menyempurnakan peradaban manusia.
2. Interaksi Islam dengan Tradisi:
Islam hadir di tengah peradaban dan tradisi yang sudah mapan sebelum datangnya kenabian Muhammad. Kehadiran Islam tidak selalu diterima dengan mudah, karena sering terjadi gesekan dengan pemangku tradisi yang merasa terganggu. Contohnya adalah Abu Jahal yang menolak dakwah Nabi Muhammad karena merasa peradaban nenek moyangnya terancam.
3. Ruang Dialog antara Islam dan Tradisi:
Untuk mencapai harmonisasi antara Islam dan tradisi lokal, diperlukan ruang dialog. Tradisi lokal tidak harus dihapuskan, tetapi bisa diakulturasi agar sesuai dengan nilai-nilai Islam. Nabi Muhammad telah memberikan contoh dialog dan adaptasi tradisi lokal di Madinah, yang membantu dakwah Islam berkembang pesat tanpa menimbulkan kecurigaan.
4. Contoh Dialog Islam dan Tradisi di Nusantara:
Dalam bukunya “Islam Pesisir,” Nur Syam menggambarkan bagaimana Islam berinteraksi dengan tradisi masyarakat pesisir Indonesia. Tradisi seperti tingkeban, brokohan, selapanan, dan khitanan masih bertahan dan mendapatkan dukungan dari pemuka agama dengan nilai-nilai Islam.
Model Tahmil, Taghyir, dan Tahrim:
Tahmil:
Islam menerima dan melanjutkan keberadaan tradisi yang sudah ada, seperti sistem perdagangan dan penghormatan terhadap bulan-bulan haram.
Taghyir:
Islam menerima tradisi namun merubahnya agar sesuai dengan ajaran Islam, sehingga karakter dasar tradisi berubah.
Tahrim:
Islam menolak tradisi yang bertentangan dengan ajaran Al-Quran, seperti judi, khamr, dan riba.
Kesimpulan:
Tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan norma Islam dan prinsip tauhid dapat didialogkan dan diharmonisasikan dengan ajaran Islam. Mendialogkan Islam dan tradisi membutuhkan kapasitas intelektual dan kearifan agar dakwah Islam diterima oleh masyarakat tanpa menghilangkan tradisi yang sudah ada.