Lebih dari Disertasi: Kisah Perjuangan di Balik Gelar Doktor

Menempuh pendidikan doktoral (S3) bukanlah sekadar proses akademis yang berfokus pada penulisan disertasi. Lebih dari itu, perjalanan S3 merupakan sebuah proses transformasi diri baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual. Ia adalah perjalanan panjang yang menuntut ketekunan, kesabaran, dan keteguhan hati. Dalam setiap tahapannya, para kandidat doktor tidak hanya berhadapan dengan tuntutan akademis yang tinggi, tetapi juga dengan dinamika batin yang sering kali kompleks.

Menurut Creswell (2014), penelitian kualitatif dalam konteks disertasi memerlukan dedikasi, ketekunan, serta kesabaran dalam proses pengumpulan dan analisis data. Hal ini menegaskan bahwa penulisan disertasi bukan sekadar tugas akademik yang bersifat mekanis, melainkan sebuah proses intelektual yang membutuhkan refleksi mendalam, fokus yang konsisten, dan komitmen yang kuat terhadap pencarian kebenaran ilmiah.

Perjalanan akademis di tingkat doktoral sering kali diibaratkan sebagai jalan berliku yang penuh dengan dinamika emosional. Ada masa-masa ketika semangat menulis begitu menggebu dan ide-ide mengalir dengan lancar. Namun, di sisi lain, ada pula periode yang penuh keraguan, kebingungan, bahkan keputusasaan. Gardner (2007) menyebut bahwa perjalanan akademis yang panjang dan menuntut sering kali mempengaruhi kondisi emosional serta kesejahteraan psikologis individu. Oleh karena itu, keberhasilan dalam menempuh studi S3 tidak hanya ditentukan oleh kemampuan intelektual, tetapi juga oleh ketahanan mental dan kecerdasan emosional.

Selain itu, proses menuju gelar doktor juga dipenuhi dengan berbagai bentuk kritik, baik dari pembimbing, penguji, maupun komunitas akademik secara luas. Kritik tersebut sering kali bukan hanya diarahkan pada hasil penelitian, tetapi juga pada cara berpikir, metode, dan kedalaman analisis seorang peneliti. Bandura (1997) menekankan bahwa kritik sejatinya merupakan peluang untuk belajar dan memperkuat kepercayaan diri (self-efficacy). Dengan memandang kritik sebagai sarana pengembangan diri, seorang kandidat doktor dapat mengubah tekanan menjadi momentum untuk tumbuh secara ilmiah dan pribadi.

Di tengah tantangan tersebut, Covey (2004) menegaskan pentingnya memiliki visi dan prinsip yang jelas dalam mencapai tujuan hidup. Dalam konteks pendidikan doktoral, hal ini berarti memiliki orientasi yang kuat terhadap makna dari penelitian yang dilakukan. Visi tersebut menjadi jangkar yang menuntun seseorang tetap teguh, meskipun dihadapkan pada berbagai kesulitan dan godaan untuk menyerah.

Akhir dari perjalanan S3 bukanlah semata-mata perolehan gelar “doktor”, melainkan puncak dari sebuah proses pembentukan karakter dan ketahanan diri. Frankl (1946) dalam karyanya Man’s Search for Meaning menyatakan bahwa manusia dapat menemukan makna hidupnya melalui penderitaan dan perjuangan. Dengan demikian, keberhasilan menyelesaikan studi doktoral mencerminkan keberhasilan seseorang dalam menemukan makna dari setiap kesulitan yang dihadapi sepanjang perjalanan akademiknya.

Pada akhirnya, gelar doktor menjadi simbol dari kombinasi antara kecerdasan intelektual, keteguhan hati, dan kedewasaan emosional. Ia adalah bukti nyata bahwa seseorang telah melewati proses panjang pembentukan diri yang tidak hanya menghasilkan kontribusi ilmiah, tetapi juga memperkaya makna kehidupannya sebagai seorang pembelajar sejati.


Referensi

  • Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: Freeman.
  • Covey, S. R. (2004). The 7 habits of highly effective people: Restoring the character ethic. New York: Simon and Schuster.
  • Creswell, J. W. (2014). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
  • Frankl, V. E. (1946). Man’s search for meaning. Boston: Beacon Press.
  • Gardner, H. (2007). Five minds for the future. Boston: Harvard Business Press.
pendaftaran Sertifikasi Halal

Comment