Bagi orang awam, mimpi bertemu Allah adalah hal yang sangat jarang dibicarakan, bahkan mungkin tidak pernah terpikirkan sama sekali. Hal ini wajar, karena pembahasan tentang mimpi bertemu Allah memang termasuk dalam kajian akidah yang mendalam, dan umumnya hanya dibahas di kalangan tertentu yang memiliki pengetahuan agama lebih luas.
Lalu, bagaimana mungkin seseorang bisa bermimpi bertemu Allah? Bukankah Allah adalah Dzat yang tidak menyerupai apapun, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya? Maha Suci Allah dari segala bentuk penyamaan atau penyerupaan.
Perbedaan Pandangan Ulama Akidah
Dalam tradisi Islam, para ulama akidah memiliki pandangan yang berbeda terkait kemungkinan bermimpi bertemu Allah:
- Pandangan Muktazilah
Golongan Muktazilah berpendapat bahwa mimpi atau pertemuan dengan Allah, baik di dunia maupun akhirat, adalah hal yang mustahil. Mereka beralasan bahwa sesuatu yang bisa dilihat pasti memiliki bentuk fisik (jisim), sementara Allah tidak berbentuk dan tidak berjisim, sehingga mustahil bisa dilihat. - Pandangan Ahlus Sunnah (Asy’ariyah)
Sebaliknya, ulama Ahlus Sunnah, terutama dalam mazhab Asy’ariyah, meyakini bahwa melihat Allah di akhirat adalah hal yang pasti terjadi bagi orang-orang beriman, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Namun, penglihatan itu tidak bisa dibayangkan dengan cara atau bentuk tertentu, karena Allah tidak menyerupai makhluk apa pun. Kiai Sholeh Darat dalam kitab Tarjamah Sabilul ‘Abid ‘Ala Jauhar at-Tauhid menjelaskan bahwa hanya Nabi Muhammad ﷺ saja yang bisa melihat Allah di dunia, dan itu pun dalam bentuk khusus yang tidak dapat disamakan dengan bentuk penglihatan biasa. Nabi Musa sendiri, meskipun memohon untuk melihat Allah, tidak diberi kemampuan itu, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa gunung saja hancur ketika Allah menampakkan diri, apalagi manusia.
Mimpi Bertemu Allah dalam Akidah Sunni
Dalam akidah Ahlus Sunnah, diyakini bahwa di dunia, seorang makhluk tidak dapat melihat Allah secara langsung, kecuali Nabi Muhammad ﷺ. Namun demikian, mimpi bertemu Allah bisa saja terjadi, khususnya kepada para nabi, orang-orang saleh, dan para kekasih Allah (wali). Hal ini dianggap mungkin dan tidak bertentangan dengan akidah, selama tetap diyakini bahwa Allah tidak serupa dengan apapun.
Sebagai contoh, Kiai Sholeh Darat menceritakan kisah Imam Ahmad bin Hanbal yang pernah bermimpi bertemu Allah sebanyak 99 kali. Ia pun berdoa, jika Allah mengizinkannya bermimpi yang ke-100 kali, ia ingin bertanya tentang ibadah yang paling dicintai oleh Allah.
Akhirnya, pada mimpi yang ke-100, Allah menjawab bahwa ibadah yang paling dicintai-Nya adalah membaca Al-Qur’an. Ketika Imam Ahmad bertanya lagi apakah yang dimaksud adalah membaca dengan memahami isinya atau cukup membaca saja, Allah menjawab bahwa baik memahami maupun tidak, membaca Al-Qur’an tetap merupakan ibadah yang paling utama.
Perbedaan pendapat memang ada dalam khazanah akidah Islam mengenai mimpi atau melihat Allah. Namun sebagai kaum Ahlus Sunnah, kita meyakini bahwa:
- Seorang mukmin akan dapat melihat Allah di akhirat kelak.
- Mimpi bertemu Allah di dunia bisa terjadi, khususnya kepada para nabi dan orang-orang saleh, tanpa menyamakan Allah dengan makhluk atau membayangkan bentuk-Nya.
Keyakinan ini tetap dalam batas yang sesuai dengan prinsip tauhid, yaitu meyakini bahwa Allah Maha Suci dari segala bentuk, rupa, atau penyerupaan dengan makhluk-Nya.

Comment