“Ngurip-uripake”: Menyelami Falsafah Jawa dalam Cahaya Ajaran Islam

Gambar Ilustrasi

Tanah Jawa, yang dikenal subur secara agraris, juga kaya akan nilai-nilai kebijaksanaan (kearifan lokal) yang diwariskan turun-temurun. Inti dari etika sosial Jawa terangkum dalam prinsip: “Urip iku kudu ngurip-uripake” hidup bukan sekadar eksistensi biologis, melainkan kemampuan untuk menghidupi dan memberi kehidupan melalui manfaat, kasih sayang, dan kontribusi nyata kepada sesama. Prinsip luhur ini selaras dan menemukan resonansi yang kuat dengan ajaran Al-Qur’an tentang menolong, berderma, dan memelihara kehidupan.

Hakikat “Menghidupi” dalam Perspektif Falsafah Jawa

Dalam pandangan Jawa, hidup adalah proses tapa atau laku spiritual yang menuntut kesadaran, kepekaan sosial, dan tindakan nyata. Hidup harus di-urip-uripake dihidupkan kembali dalam arti memberi manfaat yang berkelanjutan bagi semesta.

a. Gotong-royong: Inti Relasi Sosial

Gotong-royong adalah pondasi dari tatanan sosial masyarakat Jawa. Ini melampaui kerja bakti biasa; ia adalah cara seseorang memaknai dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari jaringan kehidupan.

Melalui gotong-royong, individu memahami bahwa hidupnya bernilai ketika ia memberi kekuatan pada kehidupan orang lain, menciptakan sinergi (harmoni).

b. Sukma: Aktualisasi Spiritual melalui Memberi

Sukma merujuk pada jiwa atau energi batin yang memancar dari esensi manusia. Dalam berbagai serat (naskah kuno) Jawa, sukma dianggap sebagai pancaran dari Yang Ilahi, sehingga wajib digunakan untuk menciptakan kebaikan di dunia. Prinsip ini menegaskan bahwa tindakan memberi adalah bentuk pengaktualisasian spiritual tertinggi.

c. Wong Jawa Ngupadi: Kewajiban Memberi

Ungkapan Wong Jawa ngupadi (Orang Jawa berikhtiar/berusaha) menggambarkan karakter yang tekun, sabar, dan menempatkan diri dalam posisi melayani atau memberi kontribusi.

Menurut R. Koesoemadinata (1995), falsafah Jawa menekankan “kewajiban memberi” sebagai sumber kebahagiaan sejati. Individu yang hanya mengambil tanpa memberi dicap sebagai wong nguwur (orang yang kehilangan jati dirinya) atau wong ngalas (orang yang tidak beradab sosial).

“Memberi Kehidupan” dalam Ajaran Al-Qur’an

Islam mengajarkan bahwa kehidupan adalah amanah (trust), dan seorang Muslim dituntut untuk memelihara, memberdayakan, dan menghidupkan kehidupan manusia serta lingkungan. Konsep ngurip-uripake menemukan legitimasi spiritual yang kuat dalam Al-Qur’an.

a. Perintah Berinfak dan Menghindari Kebinasaan

Nilai memberi kehidupan sangat jelas dalam perintah untuk berinfak (bersedekah) di jalan Allah, yang memiliki tujuan menjaga keberlangsungan umat dan mencegah kemiskinan yang merusak tatanan sosial.

Surah Al-Baqarah (2:195):

وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan…”

Analisis: Ayat ini menegaskan bahwa menahan kelebihan harta, kemampuan, tenaga dari penyaluran untuk kepentingan orang banyak adalah tindakan yang menjurus pada kehancuran sosial (kebinasaan). Ini identik dengan konsep ngurip-uripake sebagai upaya menjaga kehidupan.

b. Kesakralan Kehidupan Manusia

Al-Qur’an menempatkan satu jiwa manusia pada posisi yang sangat sakral, menegaskan pentingnya perlindungan dan pemeliharaan kehidupan.

Surah Al-Ma’idah (5:32):

مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا

“…Barangsiapa yang membunuh seorang jiwa dengan tidak adil, maka seolah-olah ia telah membunuh seluruh manusia…”

Analisis: Di balik larangan mutlak untuk merenggut nyawa, terdapat seruan moral yang lebih besar untuk menjaga, melindungi, dan menghidupkan kehidupan. Semangat ini sejalan dengan solidaritas yang diwujudkan dalam gotong-royong budaya Jawa.

c. Berbuat Baik Kepada Orang Tua (Bakti)

Kebaikan kepada orang tua adalah gambaran konkret tentang memberi kehidupan membalas kasih sayang dan merawat mereka yang telah menghidupkan kita.

Surah Al-Isra’ (17:23):

… وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tuamu…”

Analisis: Nilai ini sangat dekat dengan ajaran Jawa tentang bakti raga (bakti fisik) dan bakti sukma (bakti spiritual) kepada orang tua, yang merupakan bentuk paling dasar dari ngurip-uripake.

Menyulam Nilai Jawa dengan Nilai Islam (Sinkretisme Etika)

Pertemuan nilai-nilai Jawa dan Islam menghasilkan etika kehidupan yang harmonis dan menyeluruh, di mana keduanya tidak bertentangan, melainkan saling menguatkan dalam praktik keseharian.

Nilai Falsafah JawaNilai Ajaran IslamDeskripsi Keterpaduan
Nrimo (Menerima keadaan)Qana’ah (Rasa cukup)Bukan pasif, melainkan kebijaksanaan batin untuk menerima sambil tetap berusaha. Mendorong seseorang untuk tetap memberi (ngurip-uripake) meskipun dalam keterbatasan.
Gotong-royongAdil (Keadilan Sosial)Gotong-royong adalah mekanisme budaya untuk mewujudkan keadilan sosial dalam praktik sehari-hari. Menciptakan masyarakat yang rukun dan saling menjaga.
Silaturahmi (Mempererat hubungan)Ukhuwah (Persaudaraan)Dasar terbentuknya masyarakat yang kokoh. Tradisi berkumpul dan berbagi adalah wujud ngurip-uripake hubungan sosial.
Budi Pekerti LuhurAkhlakul KarimahLandasan moral untuk menjalankan ibadah tidak hanya di tempat ritual, tetapi dalam setiap tindakan sosial dan kontribusi di ruang publik.

Keterpaduan ini memposisikan ibadah tidak hanya terbatas pada ritual (mahdhah), tetapi juga mencakup tindakan memberi kehidupan (ghairu mahdhah) di ladang, pasar, dan ruang sosial lainnya.

Praktik Konkret “Menghidupi dan Memberi Kehidupan”

Falsafah Jawa yang TerlibatLandasan Al-Qur’an
Gotong-royong, NgupadiPerintah bersedekah dan berinfak (QS. 2:195).
Ngurip-uripake LingkunganLarangan merusak bumi dan perintah memakmurkannya. (QS. Al-A’raf 7:56).
Silaturahmi, NgopeniPerintah menjaga persaudaraan (Ukhuwah) dan menciptakan perdamaian. (QS. Al-Hujurat 49:10).

Falsafah Jawa “menghidupi dan memberi kehidupan” (ngurip-uripake) adalah panduan etis yang universal. Ketika diselaraskan dengan ajaran Al-Qur’an, nilai tersebut menjadi kekuatan moral yang kuat, membentuk pribadi dan masyarakat yang ngayomi (melindungi), ngopeni (merawat), dan ngurip-uripake menjadi rahmat bagi semesta alam (Rahmatan Lil ‘Alamin).

Sebagaimana Allah digambarkan sebagai Cahaya yang menerangi kehidupan dalam Surah An-Nur, manusia Jawa Muslim dipanggil untuk memantulkan cahaya itu melalui tindakan nyata yang menghidupkan hati, jiwa, dan lingkungan sesama.

Surah An-Nur (24:35):

…اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi…”

Daftar Pustaka

Al-Qur’an Al-Karim. (Ayat-ayat yang relevan: Surah Al-Baqarah 2:195; Al-Ma’idah 5:32; Al-Isra’ 17:23; Al-A’raf 7:56; Al-Hujurat 49:10; An-Nur 24:35).

Geertz, Clifford. (1960). The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press.

Koesoemadinata, R. (1995). Filsafat Jawa. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Wawancara/Pengamatan Lapangan. (Data mengenai praktik “Sedekah Subuh”, “Tunggul Besi”, dan “Ngopi Bareng” didapatkan dari observasi praktik keagamaan dan budaya masyarakat Jawa kontemporer).

pendaftaran Sertifikasi Halal

Comment