Pengertian Shiyam Ayyamil ‘Asyr
Shiyam Ayyamil ‘Asyr (صيام الأيام العشر) merujuk pada puasa sunnah yang dilaksanakan pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, yang dimaksud adalah tanggal 1-9 Dzulhijjah. Amalan ini didasarkan pada keutamaan hari-hari tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal saleh di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” (HR. Al-Bukhari).
Namun, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai puasa selama 10 hari tersebut (9 hari, karena hari raya tidak puasa), terutama terkait status hadits yang menjadi dasar anjurannya.
Kontroversi Hadits: Hafshah vs. Aisyah
Terdapat dua riwayat yang tampak bertentangan mengenai puasa 10 hari Dzulhijjah:
- Riwayat Hafshah binti Umar (HR. Muslim & Abu Dawud)
Hafshah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan:
“Nabi ﷺ tidak pernah meninggalkan empat amalan: puasa ‘Asyura, puasa 10 hari Dzulhijjah, puasa 3 hari setiap bulan (ayyamul bidh), dan shalat dua rakaat sebelum Subuh.”
Hadits ini menjadi landasan utama bagi ulama yang menganjurkan puasa 10 hari Dzulhijjah secara penuh, termasuk tanggal 1-9 Dzulhijjah.
- Riwayat Aisyah (HR. Muslim & At-Tirmidzi)
Aisyah radhiyallahu ‘anha menyatakan:
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ berpuasa pada 10 hari Dzulhijjah.”
Riwayat ini dijadikan dalil oleh ulama yang tidak mewajibkan atau tidak mengkhususkan puasa 10 hari penuh, kecuali puasa Arafah (9 Dzulhijjah).
Penjelasan Para Ulama dalam Menyikapi Kontroversi Ini
Pendapat yang Menguatkan Puasa 10 Hari (Jumhur Ulama)
- Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim) menjelaskan bahwa hadits Hafshah lebih kuat karena bersifat positif (menetapkan puasa), sedangkan perkataan Aisyah bersifat negatif (ketidaktahuan).
- Ibnu Hajar Al-Asqalani (Fathul Bari) berpendapat bahwa Nabi ﷺ mungkin tidak selalu berpuasa penuh karena khawatir dianggap wajib, tetapi keutamaan puasa tetap ada.
Pendapat yang Mengkhususkan Puasa Arafah Saja
- Imam Malik (Al-Muwatha’) lebih memilih puasa hanya pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) bagi yang tidak berhaji, berdasarkan riwayat Aisyah.
- Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa puasa 10 hari tidak diriwayatkan secara mutawatir, sehingga cukup puasa Arafah dan Tasu’a (9-10 Muharram).
Pendapat Kompromi (Talfiq)
- Imam Ahmad berpendapat maksud hadits Aisyah adalah :beliau tidak pernah melihat Nabi puasa penuh di 10 hari Dzulhijjah sedangkan maksud hadits Hafshah adalah bahwa Nabi berpuasa di sebagian besar hari dari 10 hari tersebut.
- Syaikh Ibn Utsaimin (Majmu’ Fatawa) menyatakan bahwa puasa 10 hari sunnah, tetapi tidak wajib. Beliau menekankan bahwa puasa Arafah lebih utama, sedangkan puasa 8 hari sebelumnya bersifat umum (boleh, tetapi tidak ada dalil khusus). Kesimpulan
- Puasa 10 hari Dzulhijjah dianjurkan berdasarkan hadits Hafshah, meskipun tidak wajib.
- Puasa Arafah (9 Dzulhijjah) memiliki keutamaan khusus dan lebih ditekankan.
- Bagi yang mampu, boleh berpuasa 1-9 Dzulhijjah sebagai bentuk itiba’ sunnah.
- Bagi yang tidak mampu, cukup puasa Arafah saja tanpa menganggapnya wajib.
- Tidak perlu bersikap ekstrem dalam menyikapi perbedaan ini.
- Yang penting adalah menghidupkan sunnah sesuai kemampuan tanpa memberatkan diri.
- Perbedaan pendapat ulama dalam hal ini adalah rahmat, bukan pertentangan.
- Yang utama adalah niat ikhlas dan semangat meningkatkan ibadah di hari-hari mulia. Penutup: Motivasi untuk Beramal
“Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang kontinu (terus-menerus), meskipun sedikit.” (HR. Bukhari).
Puasa 10 hari Dzulhijjah adalah kesempatan emas untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jika tidak bisa berpuasa penuh, lakukan semampunya, dan jangan lupakan keutamaan dzikir, sedekah, dan takbir di hari-hari ini.
Semoga kita termasuk hamba yang memanfaatkan Ayyamil ‘Asyr dengan amal terbaik!
“Barangsiapa berpuasa satu hari di jalan Allah, niscaya Allah akan menjauhkannya dari neraka sejauh 70 tahun.” (HR. Bukhari).
Wallahu a’lam bisshowab (uji)
Komentar